Setidaknya, kualitas dalam menyikapi pujian bisa dibagi dalam tiga tingkat. Tingkat paling rendah adalah suka dipuji dan tidak suka dikritik, apalagi dicela . Ini adalah sikap orang-orang yang penuh dengan penyakit hati untuk orang seperti ini, setidaknya pujian akan menyebabkan tiga efek buruk pertama takabbur. Bangga diri lalu merendahkan orang lain, kedua riya, beramal baik agar di anggap baik, dan ketiga munafik, atau ingin dianggap baik padahal aslinya buruk.
Tingkat menengah adalah tidak suka dipuji, lebih suka dikeritik atau dicela. Ada dua orang yang memiliki kecenderungan ini, yang pertama adalah salikin atau muridun, yaitu adalah orang yang bersungguh diri kepada Allah serta membersihkan hatinya dari kecenderungan duniawi dan godaan popularitas , yang kedua adalah orang yang sampai tingkatan zuhud ,mereka memang sudah tidak tertarik sama sekali terhadap masalah duniawi dan tujuan hidupnya hanyalah keselamatan dan kenikmatan ukhkrawi kedua, golongan ini benci pada pujian karena menganggap hal itu sebagai kepentingan duniawi yang dapat menyuburkan penyakit hati meruntuhkan spiritualitas serta menjerumuskan sese orang ke dalam tujuan hidup yang gelap , mereka suka di kritik dan dicela karena hal itu dapat meruntuhka nafsu, menyebabkan rendah hati introspeksi dan mawas diri.
Sedangkan tingkat tertinggi adalah tingkat Arifin atau orang–orang yang makrifat mereka justru meras senang mendapat pujian, dan merasa tidak senag ketika dicela. Secara lahirnya, seperti mirip denagan tingakatan yang paling rendah, namun secara batiniah sangat jauh dan bertolak belakang .
Orang –orang yang makrifat merasakan bahwa apapun itu adalah dari Allah, oleh Allah dan untuk Allah ketika dipuji mereka merasa bahwa lidah orang yang memujinya merupakan pena Tuhan yang sedang menulis keindahan dan keistimewaan dan kebaikan yang hakikatnya adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah, karena hakikatnya tidak ada peran kecuali peran dari Allah hal itu selaras dengan lafal Alhamdulilah , terkaiat dengan hal itu, Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari menyatakan:ا
الزهاد إذا مدحوا انقبضوا لشهو دهم الثناء من الخلق والعارفون إذا مد حوا إن بسطوا لشهوه دهم ذلك من الملك الخلق
“Orang-orang yang zuhud merasa sedih ketika dipuji. Karena mereka menyaksian pujian itu dari makhluk sedangkan orang-orang yang makrifat justru gembira ketika menerima pujian kerena mereka menyaksikan pujian itu dan dari sang maha raja yang maha benar”.
Bahkan dalam beberapa hadist beliau memuji dirinya sendiri misalnya hadistnya:
إن الله الصطفى كنا نة من ولد إسماعيل, والصطفى قريشا من كنا نة والصطفى من قريش بنى ها شم, والصطفاني من بنى ها شم
“Sesungguhnya Allah memiliki kinanah dari keturunan nabi Ismail, dan memiliki Quraisy dari keturuan kinanah dan memiliki bani Hasyim dari keturunan Quraisy. Dan memiliki aku dari marga bani Hasyim.”(HR.Muslim).
Selain itu mencela para waliullah merupakan dosa yang sangat besar. Maka, sudah seharusnya seorang waliullah bersedih ketika ada orang memusuhinya bukan karena dirinya di musuhi atau dicela, melainkan, kasihan kepada orang yang memusuhi atau yang mencelanya hal itu karena Allah berfirman dalam hadist Qudsi “ barang siapa yang memusuhi kekasihku, maka aku akan umumkan permusuhan untuknya.”(HR.al-Bukhori).