Opini  

KUATNYA DAYA TARIK NEGATIF DARIPADA POSITIF

Kebanyakan dari orang tua sepertinya lebih memikirkan dan mempersoalkan nilai satu mata pelajaran anaknya yang jelek ketimbang menyanjung sembilan nilai pelajaran lainnya yang bagus.

Suami atau istri rata-rata cenderung mudah mengingat keburukan pasangannya dibanding kebaikannya, sehingga lebih sering mengkritisi daripada memuji.

Di ranah sosial-politik atau wilayah publik juga sedemikian rupa fenomenanya. Gosip murahan dan isu-isu tak berdasar lebih disukai, hoaks serta fitnah lebih cepat memancing emosi dan kasus-kasus kriminal atau berbagai berita buruk lebih gampang menyita hati.   

Singkatnya, disadari atau tidak, kita sering kali lebih gemar melihat sisi negatif dibanding sisi positif yang menempel pada sebuah realitas. Kenapa demikian? Mengapa bisa sangat kuat daya tarik kejelekan dari pada kebaikan?

Kyai Muhammad ibnu Romli dalam kajian kitab Munqid-nya menjelaskan, “Ketidakseimbangan positif-negatif yang membentuk sebuah kesan dalam diri kita merupakan kecenderungan alamiah, yakni pengalaman buruk yang ditangkap oleh alat indrawi kita pada umumnya akan lebih cepat, lebih kuat dan lebih lama mengendap daripada pengalaman yang menyenangkan”.  

Karena itulah rasa ketidaknyamanan yang diproduksi oleh suatu kejadian traumatik di masa lalu acapkali lebih mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang dibanding rentetan rasa kebahagiaan yang timbul dari peristiwa-peristiwa indah yang pernah dialaminya.   

Demikian pula kelebihan yang ada pada diri sendiri dan orang lain, yang biasanya juga terkaburkan dan terkalahkan oleh dorongan semangat mempermasalahkan apa yang dianggap sebagai kekurangan, sekecil apa pun itu.   

Dengan kata lain, kita lebih mudah ‘terkesan’ oleh sesuatu yang bernuansa negatif ketimbang yang bersifat positif. Bahkan komentar berisi kritikan yang agresif lebih diminati serta lebih cepat mengundang antusiasme ketimbang pujian yang realistik, betapapun keduanya sama-sama bersifat subyektif dan spekulatif (dugaan yang tidak sesuai dengan kenyataan), lebih-lebihnya di media sosial yang sekarang menjadi sarang kehidupan seseorang yang harusnya menjadi sarana silaturahim dan perekat persatuan, bukan kebencian dan permusuhan.

Untuk mengubah kecenderungan yang tidak sehat tersebut, tentu kita harus belajar mengapresiasi, berusaha menghargai diri sendiri maupun orang lain. Menikmati apa yang kita punya, mensyukuri apa yang masih ada, serta memanfaatkan kekuatan dan peluang yang tersisa adalah cara terbaik untuk mengapresiasi kondisi riil yang kita alami saat ini.

Selebihnya, kita juga berupaya menghargai orang lain dengan menggeser perhatian pada sisi-sisi positifnya, agar tidak berat sebelah atau terlalu fokus pada keburukan dan kekurangannya semata. Bagaimanapun, setiap orang pasti memiliki kebaikan dan kejelekan, yang sulit ditakar secara kebenaran hingga layak dijadikan sandaran. Bukan berarti kita pantang mengkritisi siapapun, terutama mereka yang jelas-jelas melakukan kesalahan. Kritik justru merupakan bagian penting dari proses pendewasaan komunikasi timbal-balik, agar interaksi yang dibangun di atasnya lebih kaya perpektif, tidak melulu berjalan secara monolitik, monoton, dan sepi dari perbedaan pendapat.  

Tetapi menghamburkan kritik tanpa diselingi kesediaan mengapresiasi hanya akan membuat kita menjadi complainer yang buta, tuli, tidak mampu melihat dan mendengar kebenaran ataupun kebaikan dengan seksama, lantaran terlalu sibuk mencari persoalan ketimbang menggali kesempatan.

ibnuN

Santri Aktif PP. Nurul Ulum Tagrinih timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *