Lebih dari setahun lalu, ada tayangan tidak pantas terkait seorang guru tugas yang melecehkan muridnya. Banyak yang mengecam. Karena memang tayangan semacam itu tidak pantas. Tidak pantas bukan mengenai fakta-tidaknya yang ditayangkan, melainkan adegan vulgar yang ditayangkan.
Waktu itu semua yang terlibat bertobat, dan meminta maaf. Tentu namanya bertobat, berarti memenuhi syarat tobat: 1) Menyesal (an-nadm), 2) Bertekad (al-‘azm) tidak mengulanginya, 3) Tidak melanjutkan (al-iqla’) dari perbuatannya.
Namun, yang terjadi saat ini malah kognisi defensif. Sebuah istilah untuk orang yang demi melindungi diri mereka dari perasaan malu atau cemas akibat kesalahan, memutarbalikkan fakta atau menciptakan skenario baru yang lebih menguntungkan mereka, untuk menghindari rasa bersalah.
Tentu hati pecah dan remuk saat melihat kejadian yang memalukan belakangan ini. Begitu pun hati bersedih saat melihat ada yang menunggangi kejadian ini untuk mencibir ulama dan pesantren. Yang seharusnya ia mengecam pelaku, justru ia menggeneralisir semua pesantren dan para ulama juga demikian.
Betapa jahat pula lisan mereka yang dengan enteng mengatakan, “Saya dengan para kiai itu sama saja. Hanya beda kostum. Perilakunya sama bejadnya.” Sambil menyandingkan konten jingkrak-jingkrak gak jelas itu dengan para ulama yang sama sekali tidak berkaitan dengan pelaku.
Coba berpikir secara logika, di mana letak persamaan mereka dengan para ulama? Para ulama yang kesehariannya mutalaah, mulang, dan ibadah, disamakan dengan orang tak jelas kesehariannya?
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Ucapan, apalagi konten semacam itu, tentu tidak akan lahir dari rahim pencinta pesantren dan ulama. Khawatir justru sebaliknya. Konten demikian sejatinya bukan mengecam pelaku, melainkan ingin mencibir ulama yang sama-sekali tidak berkaitan dengan kejadian.
Lebih mengherankannya lagi, yang seharusnya iba melihat korban, dan marah kepada pelaku, malah ia membuat konten cengengesan, menjelekkan ulama yang tidak berkaitan dengan kejadian. Apakah demikian yang ia maksud empati?
Mirisnya, lagi, sahabat
Kalau mereka boleh berasumsi kejadian memalukan itu, merupakan ramalan tepat dari film vulgarnya, maka berarti boleh juga berasumsi bahwa kejadian buruk itu justru merupakan rentetan film-film buruk yang bertebaran di media sosial, termasuk film yang mereka produksi. Bukankah Tuhan melarang kita mendekati zina? Karena dengan mendekati, akan menjurus untuk melakukan. Termasuk film yang pernah mereka produksi.
Saya tentu tidak akan menulis ini, jika mereka hanya mengecam pelaku. Justru akan kami dukung untuk lantang mengecam dan mengawal kasus ini. Namun, fakta sebaliknya, mereka menunggangi kejadian ini, untuk membenarkan film vulgar mereka. Semoga tulisan kami tidak disalahpahami, dan bermanfaat kepada kita semua.











