Akidah  

BENARKAH ALLAH DI ATAS

Semua dalam fan tauhid pasti menjelaskan bahwa Allah mempunyai dua puluh sifat diantaranya sifat Qiyamuhu bi-nafsihi  walaupun masih ada perbedaan antara para ulama dalam sifat maknawiyah, bahkan sifat-sifat yang dimiliki Allah bukan hanya sifat yang dua puluh itu saja tapi Allah mempunyai 99 sifat yang  diistilahkan dengan asmaul husna.

   Namun jika melihat dari banyaknya amaliah kita sehari-hari pasti tidak terlepas dari berdoa, takbir dan semacamnya, tapi anehnya ketika kita berdoa telapak tangan kita dihadapkan ke atas sejajar dengan bahu bahkan sampai melebihi dari kepala. Apakah itu menandakan bahwa Allah berada di atas?.

   Dalam kitab-kitab aqidah sudah disusun rapi oleh ulama-ulama kita, diantaranya Imam Asy’ari, tentang sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh Allah atau sebaliknya, mulai dari sifat wujud misalnya yang artinya Allah itu ada, sampai sifat yang terakhir yakni mutakalliman.

   Maka dari itu kami akan menjelaskan melalui sifat wajib kepada Allah yaitu sifat qiyamuhu binafsihi.

   Qiyamuhu bi-nafsihi ialah, Allah tidak butuh pada tempat dan sosok pencipta, karena bila Allah butuh pada tempat maka Allah disebut sifat, bila Allah butuh pada sosok pencipta maka Allah di sebut hadits (sesuat yang baru adanya), sesuai dengan perkataan syaikh Ibrahim al-Laqoni dalam kitabnya.

القيام بالنفس ومعناه انه تعالى لايفتقر الى محل ولامخصص والدليل على ذالك انه لو احتاج الى محل لكان صفة وكونه صفة محال ولو احتاج الى مخصص لكان حادثا وكونه حادثا محال.

   “arti dari sifat Qiyamuhu binafsihi ialah, Allah tidak butuh pada tempat dan sosok penentu, adapun dalilnya bila Allah butuh pada tempat maka Allah dikatakan sifat, muhal Allah dikatakan sifat, bila Allah butuh pada sosok penentu maka Allah dikatakan baru, itu juga mustahil”

   Imam Sanusi dalam kitab Ummul Barahin juga memaparkan seperti ini; tanda wajibnya sifat Qiyamuhu bi-nafsihi adalah jika Allah butuh pada tempat maka Allah dikatakan sifat dan sifat tidak bisa disifati dengan sifat ma’ani dan maknawiyah, sedangkan Allah wajib hukumnya bersifatan dengan keduanya ma’ani dan maknawiyah, misalnya Allah butuh pada mukhashis atau pencipta maka Allah dikatakan hadits tentunya Allah mustahil hadits.

   Lalu bagaimana bisa Allah tidak butuh pada tempat dan penentu kalau Allah masih butuh pada tempat dan sosok pencipta?

   Maka dari argumentasi tersebut, amaliah-amaliah di muka tadi tidak bisa dijadikan bahan untuk mengatakan bahwa Allah bertempat di atas misalnya, lantaran Allah berbeda dengan hal-hal yang baru.

Namun amaliah-amaliah seperti itu semata-mata hanya menunjukan bahwa Allah itu maha mulia, maha tinggi, setiap sesuatu yang mulia dan tinggi pasti tempatnya ada di atas, contoh seorang raja, ia duduk di kursi bukan duduk di bawah, seorang kiai saat pidato pasti duduk di atas podium bukan malah duduk bersama para hadirin yang ingin mendengarkan pidatonya, intinya setiap hal yang istimewa pasti tempatnya juga istimewa, makanya ketika orang berdoa  telapak tangannya di hadapkan ke atas sebagai bentuk penghormatan.

Exit mobile version