Terlalu fanatisme buta, menuduh orang-orang yang berbeda dengan dirinya sebagai umat islam yang tidak setia terhadap ajarannya. Begitulah sikap para Wahabi kepada umat islam yang tradisionalis, dengan karakter yang sinis, anarkis dan ekstremis hingga membuatnya terjerumus kejurang doktrinasi yang sadis.
Metodelogi dakwahnya meresahkan, karena perbedaan para ulama sering kali disembunyikan. Berbagai statemen ulama mujtahid justru banyak yang dilengserkan, karena dianggap berseberangan dengan ajaran Rasulullah Saw yang telah disempurnakan oleh Tuhan.
Mentransfer pahala kepada orang yang sudah wafat adalah salah satu contoh yang kerap kali dipublikasikan, orang bawah yang minim akan pemahaman keagamaan menjadi target awal dari dakwah yang penuh dengan kepentingan.
Menurut mereka, orang yang sudah wafat tidak lagi mempunyai keistimewaan apa-apa, serta tidak bisa menerima pahala yang ditransfer walaupun mengatasnamakan orang yang sudah tiada.
Mujtahid mutlaq Muhammad bin Idris as-Syafi’I atau paling akrab disebut imam Syafi’I yang kontra terhadap transfer pahala, telah menjadi korban atau sarana untuk menghantam para ulama yang berbeda dengannya.
Dari situ muncul karakter asli para Wahabi, statemen ulama yang menguntungkan kelompok diri sendiri, dipaparkan kepublik agar dikonsumsi oleh orang-orang yang minim akan literasi.
Mari kita bahas pro-kontra hukum transfer pahala secara seksama, dari pandangan empat madzhab yang berbeda.
Versi Madzhab Hanafiyah:
Syaikh Utsman bin Ali az-Zaila’I al-Hanafi dalam kitabnya Tabyin al-Haqaiq fi Syarhi Kanzud-daqaiq ketika menanggapi bab haji mengatakan:
الْأَصْلُ في هذا الْبَابِ أَنَّ الْإِنْسَانَ له أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ صَلَاةً كَانَ أو صَوْمًا أو حَجًّا أو صَدَقَةً أو قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أو الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ من جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ
“Hukum asal dalam bab ini, bahwa seseorang diperbolehkan mentransfer pahala pekerjaannya kepada orang lain menurut ulama Ahlus-sunnah Wal Jama’ah baik berupa salat, puasa, haji, sedekah, bacaan al-Quran atau dzikir atau hal lain yang berbentuk kebaikan, pekerjaan tersebut sampai dan bermanfaat kepada mayit” (Tabyin al-Haqaiq fi Syarhi Kanzud-daqaiq juz 2 hal. 82)
Pendapat di atas kemudian didukung oleh fatwanya Syaikh Zainuddin yang masyhur dengan abi Hanifah kedua dimasanya. Beliau mengatakan bahwa, metransfer pahala kepada mayit hukumnya boleh karena sudah ada tuntunan dari al-Quran. Berikut redaksinya:
أَمَّا الْكِتَابُ فَلِقَوْلِهِ تَعَالَى وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كما رَبَّيَانِي صَغِيرًا وَأَمَّا السُّنَّةُ فَأَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ مِنْهَا مَا رَوَاهُ أبو دَاوُد إِقْرَؤُوْا سُورَةَ يـــسٍ عَلَى مَوْتَاكُمْ
“Adapun dalil legalnya hukum transfer pahala dari al-Quran, ialah firman Allah SWT Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Sedangkan dalam hadis banyak diantaranya, hadis yang diriwayatkan oleh imam abu Dawud Bacalah surah yasin untuk orang-orang yang sudah mati diantara kalian” (al-Bahrur-raiq Syarah Kandzud-daqaiq juz 3 hal. 09)
Versi Madzhab Malikiyah:
Syaikh Qadi ‘Iyadl, ketika mengomentari hadis tentang pelepah kurma mengatakan:
قوله صلى الله عليه وسلم (لَعَلّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَادَامَتَا رُطَبَيْنِ) أَخَذَ الْعُلَمَاءُ مِنْ هَذَا إِسْتِحْبَابَ قِرَاءَةِ الْقُرآنِ عَلَى المَيِّتِ لِأَنَّهُ إذَا خُفِّفَ عَنْهُ بِتَسْبِيْحِ الجَرِيْدَتَيْنِ وَهُمَا جَمَادٌ فَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوْلَى
“Sabda Rasulullah SAW ‘semoga saja pelepah kurma ini meringankan siksa kedua orang tersebut selama masih basah dari hadis ini, kemudian para ulama berpendapat sunnah membaca al-Quran untuk orang yang sudah mati. Karena seandainya mayit bisa mendapatkan keringanan siksa melalui dua pelepah kurma yang statusnya benda keras, maka al-Quran jauh lebih utama”
Masih dalam madzhab Malikiyah, Syaikh ibnul Haj dalam kitabnya al-Madkhal jilid satu justru memberikan metode agar sampai kepada mayit. Beliau berkata:
وَكَيْفِيَّةُ وُصُوْلِهَا أَنَهُ إِذَا فَرَغَ مِن تِلَاوَتِهِ وَهَّبَ ثَوَابَهَا لَهُ أَوْ قَالَ ألّلــهُـــمَّ اجْعَلْ ثَوَابَهَا لَهُ فَإِنَ ذَلِكَ دُعَاءٌ بِالثَّوَابِ لِأَنْ يَصِلَ إِلَى أَخِيْهِ وَالدُّعَاءُ يَصِلُ بِلَا خِلَافٍ
“Cara agar pahala sampai kepada mayit adalah; ketika selesai dari bacaannya mengahadiahkan pahalanya atau dengan ungkapan sampaikanlah pahala bacaan kepadanya karena hal itu do’a agar sampai kepada saudaranya sedangkan doa pasti sampai tanpa sebuah perbedaan” (al-Madkhal juz 1 hal. 266)
Versi Madzhab Syafi’iyah:
Versi ketiga ini yang kerap kali dipublikasikan oleh para Wahabi di Indonesia, karena memang rata-rata mayoritasnya penganut madzhab Syafi’iyah. Mereka-mereka menukil pendapatnya imam Syafi’I yang secara lahir mengatakan bahwa pahala bacaan al-Quran atau tradisi masyarakat seperti khataman dll tidak sampai. imam ibnu Katsir berkata:
{ وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى } أي: كَمَا لَا يُحْمَلُ عَلَيْهِ وِزْرُ غَيْرِهِ، كَذَلِكَ لَا يَحْصُلُ مِنَ الأَجْرِ إِلَّا مَا كَسَبَ هُوَ لِنَفْسِهِ. وَمِنْ هَذِهِ الآيَةِ اْلكَرِيْمَةِ إِسْتَنْبَطَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ، وَمَنْ إتَّبَعَهُ أَنَّ اْلِقرَاءَةَ لَا يَصِلُ إِهْدَاءُ ثَوَابِهَا إِلَى المَوْتَى.
“Dari ayat tersebut, imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat, bahwa pahala bacaan tidak akan sampai kepada orang yang sudah wafat” (tafsir ibnu katsir juz 7 hal 465 Maktabah Syamilah)
Sebab statemen imam Syafi’I di atas, Wahabi merasa punya alat untuk mengkonter para kaum Ahlus-sunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Lagi-lagi Aswaja dicaci-maki karena tidak setia kepada Rasulullah dan imam Syafi’I yang notabeni pendiri madzhabnya.
Sebenarnya, statemen imam Syafi’I tersebut sudah ditanggapi oleh al-Hafiz Jalaluddin as-Suyuthi. Beliau berkata:
وَأَمَاقَوْلِ اللهِ تَعَالَى (وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى) فَلَا حُجَّةَ فِيْهَا لِلْمِانِعِ لِأَنَّـــهَا مُخَصَّصَةٌ بِأَدِلَّةِ الكِتَابِ وَالسُّنَةِ الكَثِيْرَةِ اَلدَّالَّةِ عَلَى انْتِفَاعِ الشَّخْصِ بِعَمَلِ غَيْرِهِ أَوْ مَحْمُوَلَةٌ عَلَى مَا لَا يَهَبُهُ العَامِلُ لَهُ.
“Adapun firman Allah yang terletak di surah an-Najm ayat ke 39, maka tidak bisa dijadikan hujjah untuk tidak sampainya pahala. Karena sudah ditentukan oleh dalil-dalil al-Quran dan hadis yang menunjukan bisa mengambil manfaatnya seseorang dengan amal orang lain atau ayat di atas diarahkan kepada seseorang yang tidak menghadiahkannya kepada mayit”
Implikasinya, walaupun ada fatwa imam Syafi’I yang secara lahir kontra dengan pendapat para ulama Syafi’iyah (para pengikutnya) maka alangkah baiknya agar dikaji dan tidak gegabah untuk mempublikasikannya. Karena tentang legalitas hukum transfer pahala, sudah difatwakan oleh jumhur ulama (kebanyakan ulama). Sebagaimana perkataannya imam al-Hafiz Jalaluddin as-Suyuthi:
وَسْتَدَلُّوا (أي الجُمْهُورُ) عَلَى الوُصُولِ بِالْقِيَاسِ عَلَى الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَالصَّومِ وَالحَجِّ وَالْعِتْقِ.
“Ulama jumhur mengatakan transfer pahala sampai kepada mayit karena disamakan dengan doa, sedekah, puasa, haji dan memerdekakan budak” (Syarah al-Shudur hal. 31-313)
Kalau hanya mengutip pendapatnya imam Syafi’I yang kontra terhadap transfer pahala, tapi menolak fatwa beliau yang membagi bid’ah menjadi dua bagian, hal ini jelas hanya semata kepentingan.
Versi Madzhab Hanabalah:
Syaikh Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah atau paling akrab disebut dengan ibnu Taimiyah, adalah panutan Wahabi yang amat dibanggakan. Maka dari itu, hemat penulis agar tidak terlalu melebar akan mengutip fatwa dari pada tokoh Wahabi tersebut.
Syaikh ibnu Taimiyah menuturkan:
مَنْ إِعْتَقَدَ أَنَّ الإِنْسَانَ لَا يَنْتَفِعُ إِلَّا بِعَمَلِهِ فَقَدْ خَرَقَ الإِجْمَاعَ وَذَلِكَ بَاطِلٌ مِنْ وُجُوهٍ كَثِيْرَةٍ أَحَدُهَا أَنَّ الإِنْسَانَ يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ غَيْرِهِ وَهُوَ إِنْتِفَاعٌ بِعَمَلِ الَغيْرِ إلى أن قال.. عَاشِرُهَا أَنَّ الحَجَّ المَنْذُورَ اَوِ الصَّوْمَ المَنْذُورَ يَسْقُطُ عَنِ المَيِّتِ بِعَمَلِ غَيْرِهِ بِنَصِ السُّنَّةِ وَهُوَ إِنْتِفَاعٌ بِعَمَلِ الغَيْرِ.
“Orang yang mempunyai keyakinan bahwa seseorang tidak bisa mengambil manfaat kecuali dengan amalnya sendiri, maka sudah menyalahi ijma (kesepakatan ulama) hal itu batal dari beberapa alasan. Pertama, bahwa seseorang bisa mengambil manfaat dari doanya orang lain. Yang kesepuluh ialah, haji dan puasa nadzar gugur dari tanggungannya mayit sebab dilakukan oleh orang lain” (Ghaya al-Makshud fittanbih hal. 101)
Sebenarnya masih banyak dalil-dalil tentang sampainya transfer pahala versi Hanabalah, tapi penulis hanya ingin mengutip statemen dari pada panutan Wahabi. Agar mereka juga menyadari, bahwa transfer pahala juga diakui eksistensinya oleh panutannya sendiri.