Perbedaan Khalik dan makhluk. Posisi pencipta (Khalik) dengan hasil ciptaan (makhluk), sesungguhnya ada batas pemisah diantara keduanya, yaitu adalah keimanan dan kekufuran. Dan barang siapa yang memiliki keyakinan menyamakan kedua posisi tersebut, maka secara tidak langsung dia telah dihukumi kafir. Na’ûzubillâh, semoga kita dilindungi dari hal tersebut, Amin.
Sebenarnya, masing-masing posisi memiliki hak yang khusus. Namun, dalam hal ini, terdapat berbagai masalah yang perlu kita tinjau terlebih dahulu, khususnya yang bersangkutan dengan kerasulan Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam, yakni berbagai keistimewaan beliau yang membedakannya dengan manusia lain pada umumnya dan yang mengangkat derajatnya di atas manusia kebanyakan.
Mengenai masalah ini, terkadang memang tampak sulit dibedakan oleh sebagian orang, mungkin bisa jadi lantaran lemahnya daya nalar, sempitnya cakrawala pengetahuan dan minimnya penelitian.
Atau bisa juga karena fatanisme tehadap pendapat yang diikutinya, sehingga mereka dengan sangat gegabah menjatuhkan vonis kafir atau menghukumi keluar dari agama islam bagi orang-orang yang mengistimewakan eksistensi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, dengan dasar hanya persangkaan bahwa telah terjadi penyamaan posisi antara khalik dengan makhluk, atau dengan persangkaan bahwa telah terjadi pengkultusan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam yang didudukan pada posisi Khalik.
Padahal kita terlepas diri dari apa yang mereka tuduhkan seperti itu, karena dengan Allah subhanahu wa ta‘âla, kita telah mengetahui apa saja yang wajib bagi Allah dan Rasulnya, dan mengetahui pula apa saja yang merupakan hak murni Rasulullah.
Kita sepenuhnya telah mengetahui kelebihan dan keutamaan Rasulullah, walaupun hanya membaca lewat buku-buku sejarah, tapi setidaknya kita tidak bersikap berlebihan dan ekstrem kepadanya, sehingga mustahil kita sampai terjatuh ke jurang kekeliruan.
Jangan sampai kita mensifati Rasulullah dengan sifat-sifat ketuhanan, baik sebagai Tuhan yang disembah maupun sebagai Tuhan yang mengurus alam, atau kita mensifati Rasulullah bahwa beliau mampu dalam hal menahan dan memberi sesuatu, memberi manfaat dan mudharat secara murni dan mutlak, tanpa dikaitkan dengan pengaruh Allah.
Adapun sikap berlebih-lebihan dalam mencintai, mentaati dan merasakan loyalitas pada diri baginda Rasulullah sangat diperbolehkan, sama sekali tidak ada larangan, bahkan baginda Rasulullah sangat suka dengan hal tersebut.
Hanya saja, jangan sampai kelewatan batas, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits nabi yang artinya: “janganlah kalian menyanjung sampai kelewatan batas, sebagaimana umat nasrani menyanjung ‘Isa ibnu Maryam (menjadikannya Tuhan).”
Dalam kitab al-Qur’an, Allah subhânahu wa ta ‘âla sendiri sangat menyanjung dan mengagungkan Rasulullah dengan sanjungan yang sangat tinggi, bahkan, Allah subhanahu wa ta ‘âla juga memerintahkan kepada semua manusia untuk mengagungkan Rasulullah.
Jadi dalam hal mengagungkan Nabi dengan pujian selain dengan sifat ketuhanan, tidaklah termasuk kekufuran dan kesyirikan.
Bahkan, dalam hal ini tidak lain merupakan bentuk dari sebuah ketaatan yang bernilai ibadah kepada Allah.
Seperti firman Allah:
ذلك ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب
Artinya: “demikianlah (perintah Allah). Barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar agama Allah (amalan ibadah), maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”
Dan juga firman Allah:
ذلك ومن يعظم حرمات الله فهو خيرله عند ربه
Artinya: “demikianlah (perintah Allah). Barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat disisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya disisi Tuhannya.”
Maka dari itu, kita sebagai umat Rasulullah mari kita muliakan beliau dengan sanjungan yang tinggi dan mari kita agungkan beliau dengan seagung-agungnya, asalkan jangan sampai menyamakan beliau dengan Tuhan.
Riyan Renaldi









