Akhlak  

ORANG TUA MANA YANG HARUS DIDAHULUKAN?

Ayah dan ibu merupakan sosok yang paling istimewa untuk seorang anaknya, karenanya Rasulullah saja menggandeng nama orang tua dengan nama Tuhan. lengkapnya berbunyi:

رِضَا اللهِ فِيْ رِضَا الوَالِدَيْنِ وَسُخْطُ اللهِ فِيْ سُخْطِهِمَا

“keridhaan dan kemurkaan Allah berada dalam sosok kedua orang tua”. Ini menjadi suatu bukti bahwasanya orang tua merupakan sosok yang sangat berharga, sangat istimewa, sehingga wajib bagi anaknya untuk memuliakannya. Sama hal-nya dengan Nabi Muhammad yang namanya banyak yang bergandengan dengan nama-nama tuhan, contoh kecilnya seperti kalimat tauhid yang berbunyi;

لَاإِلـهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوُلُ اللهِ

“Tiada tuhan selain Alah, Nabi Muhammad utusan Allah”. Artinya, Nabi Muhammad adalah insan yang sangat istimewa, sampai-sampai namanya banyak yang bergandengan dengan nama tuhan, pun, dalam al-Quran juga banyak nama-nama tuhan yang bergandengan dengan nama nabi.

Begitu-pun sang guru, yang mana ia merupakan sosok penerang jiwa, yang menjaga kita dari api neraka dan yang menjadi media, untuk membawa kita menuju pada kehidupan yang abadi. Dengan demikian, terkadang pada sewaktu-waktu kita bingung untuk menentukan mana yang harus didahulukan antara keduanya (guru atau orang tua) padahal keduanya sama-sama mempunyai kelebihan masing-masing?

Ada tiga sosok pembimbing menurut pandangan sebagian ulama, yang mana ketiga-tiganya sama-sama mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan kita, baik di dunia maupun kelak sampai di akhirat.

1: orang tua yang menjadi wali dalam pernikahan, karenanya nikah tidak akan legal apabila tanpa hadirnya seorang wali nikah, sebab, di antara syarat nikah tidak terpenuhi. sehingga dengan hadirnya wali nikah, kita dapat membuka lembaran baru dengan sang pujaan hati.

     2: orang tua yang melahirkan kita, ia yang mengandung kita selama Sembilan tahun lamanya, ia tak kenal lelah apalagi sampai menyerah, hanya untuk sang buah hati semata. Tidak lupa dengan ayah, karena, apabila ada peran sang ibu, pasti ada peran kesatria di belakangnya.

3: orang tua yang mengajarimu tentang ilmu agama, betapa sulitnya guru dalam mengajar, lebih-lebih kalau masih kecil, masih tidak tau huruf hijaiyah, katakanlah seperti itu. saking pentingnya dan mulianya ilmu dan ahli-ahli ilmu, sahabat sayyidina Ali sampai berkata:

أَنَا عَبْدُ مَنْ عَلَّمَنِيْ حَرْفًا وَاحِدًا إِنْ شِئْتَ إِسْتَرَقَّ وَإِنْ  شِئْتَ أَعْتَقَ

 “Saya budak dari orang yang mengajariku satu huruf saja, dibagaimanakanpun (jadikan sebagai budak atau dimerdekakan) saya rela”. Dalam redaksi lain ada yang berbunyi “walaupun dijual saya rela”.

Namun, walaupun demikian, sebagian ulama meneruskan maqalahnya, bahwa guru adalah sosok yang harus didahulukan daripada semua orang yang mendapat titel nama orang tua. Sebagaimana keterangan dalam kitab minhajul-muta’allim bab tentang hak guru yang harus didahulukan daripada hak orang tua yang melahirkan;

وَقَالَ بَعْضُهُمْ : الأَبَاءُ ثَلَاثَةٌ أَبٌ رَبَّاكَ, وأَبٌ وَلَدَكَ, وَأبٌ عَلَّمَكَ, وَخَيْرُ الأَبَاِء مَنْ عَلَّمَكَ

 “Sebagian ulama berpendapat; orang tua ada tiga, pertama; orang tua yang memimpinmu dalam pernikahan (wali nikah). kedua; orang tua yang melahirkanmu. ketiga; orang tua yang mengajarimu, paling baiknya orang tua adalah orang yang mengajarimu”

Imam Yahya bin Mu’adz juga berkomentar lengkap dengan alasannya.

الـمُعَلِّـمُ خَيْرٌ مِنْ أَبَائِكُمْ وأُمّهَاتِكُمْ لِأَنَّ آبَائَكُمْ وأُمَّهَاتِكُمْ يَحْفَظُوْنَ مِنْ نَارِ الُّدُنْيَا, وَمُعَلِّـمُ الخَيْرِ يَحْفَظُ مِنْ نَارِ الأَخِرَةِ

 “guru lebih didahulukan daripada ayah dan ibu kalian, karena ayah dan ibu kalian, menjaga dari siksa dunia, sementara guru yang membimbing dalam jalan kebaikan, menyelamatkan dari siksa akhirat”

Imam Iskandar dzil-Qornain pernah ditanya “mengapa engkau lebih memuliakan gurumu dibanding orang tuamu yang melahirkan” ia menjawab; kerena orang tua yang menurunkanku dari langit ke bumi, sedangkan guru yang mengangkat saya dari bumi ke langit. Bahkan dalam hadis, Rasulallah secara tegas bersabda;

خَيْرُ الآبَاءِ مَنْ عَلَّـمَكَ

 “Paling baiknya orang tua adalah orang yang mengajarimu”. Dari beberapa redaksi di atas sangat jelas, hak-hak guru lebih didahulukan daripada hak-hak orang tua yang melahirkanmu, lantaran guru adalah sosok yang paling berperan untuk menyelamatkan kita dari fitnah-fitnah dunia dan akhirat, beda halnya dengan orang tua yang melahirkan, ia hanya memimpin kita agar selamat di dunia saja. Alangkah lebih baiknya kedua orang tua yang melahirkan, kalau dijadikan sebagai sosok Man ‘Allamaka.

Kewajiban Bagi Seorang Pelajar

Ada beberapa kewajiban bagi seorang pelajar agar menjadi pelajar yang sejati, yang mana, keterangannya di sadur dari beberapa kitab akhlak seperti kitab taklimul-mutaallim dan kitab minhajul mutaallim dan kitab-kitab akhlak lainnya.

1: taat kepada guru; dengan cara mengikuti semua perintah guru dan larangannya kecuali perintah yang mengarah pada kemungkaran (larangan Allah).

2: tawadu pada guru; dengan cara mencari hal-hal yang dapat menjadikan hati guru merasa senang seperti mendoakan guru dengan baik, khidmah pada guru dan membantu segala hal yang dibutuhkan oleh sang guru, dll.

3: mengagungkan guru; seperti tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, tidak berkata apapun sebelum diberi izin oleh guru, dan tidak bertanya apabila guru sedang keadaan bosan. Intinya harus ada rida dari guru terlebih dahulu, agar tidak mendapat murkanya, sehingga ilmunya tetap manfaat. Juga harus mentakwil pada takwilan yang baik apabila ada kata yang kayaknya keliru menurut pandangan muridnya.

4: mengagungkan putra-putra guru, shahibul-hidayah bercerita; bahwa dulu ada seorang ulama besar dari kalangan imam Bukhari, kala itu, ulama tersebut berdiri saat berada dalam satu pertemuan (satu majlis), akhirnya ulama yang lain heran dan bertanya mengenai, mengapa ia berdiri?  Oleh beliau dijawab; karena ada putra guru saya yang sedang bermain bersama teman-temannya, kadang ia sampai kedepan pintu masjid, makannya, ketika saya melihatnya, saya berdiri, karena saya mengagungkan guruku.

5: tidak ada perasaan lebih mulia ketimbang gurunya (sombong). Bukan ketika sukses dari pada guru, malah seolah-olah kayak orang bodoh, tidak tau apa-apa, sampai hilang perasaan bahwa dirinya pernah berguru.  Wal-‘iyadzu billah

6: tidak duduk dekat gurunya kecuali dalam keadaan dharurat, sebaiknya, duduk yang sesuai dengan etika, duduk sekiranya قَدْرَ الَقَوْسِ (satu asta) antara murid dan gurunya.

7: pasrah pada guru dalam menentukan fan-fan ilmu yang akan dipelajari, tidak baik apabila kita yang menetukan kitab ini dan itu, misalnya, karena guru yang lebih faham dalam persoalan itu, dan yang menjadi sebab, ilmu yang didapat tidak akan maksimal. Imam Burhanuddin berkata;

كَانَ طَالِبُ العِلْمِ فِي الزَّمَانِ الأَوَّلِ يُفَوِّضُ أَمْرَهُ إِلَى أُسْتَاذِهِ وَكَانَ يَصِلُ مَقْصُودَهُ وَمُرَادَهُ,  والآنَ يَخْتَارُوْنَ بِأَنْفُسِهِمْ وَلَايَصِلُوْنَ مَقْصُودَهُ مِنَ العِلْمِ

“Seorang pelajar pada abad pertama, semua urusannya dipasrahkan pada gurunya sehingga ia mencapai pada yang ia tuju, sementara pelajar pada masa sekarang menentukan sendiri materi pelajarannya, sehingga mereka tidak mendapat ilmu secara maksimal”

Itulah sebagian contoh sikap atau etika kita pada guru dan suri teladan dari ulama yang menjadi pembeda antara para pelajar zaman dulu dan sekarang.

Exit mobile version