Cerpen  

MATA MUNGIL MENYIMPAN DUNIA

Setiap kali aku melihat bocah itu, tengah bermain-main di serambi masjid atau di halaman pondok, kadang berloncatan seperti menjolok sesuatu, kadang hanya merunduk jongkok memandangi hilir mudik santri, seolah ada yang perlahan tumbuh dari gerbang pesantren.

Karena gemariuh santri tengah belajar, dari jauh aku tidak bisa mendengar jelas teriakan-teriakan bocah itu, saat dia mengibaskan kedua tangannya bagai menghalau sesuatu yang beterbangan, aku hanya melihat mulut bocah itu seperti berteriak dan tertawa-tawa, kadang aku ingin menghampirinya, mencari tau perihal apa yang membuatnya segirang itu, di saat santri yang lain tengah sibuk belajar, menghafal, mentakrir kembali, ada pula yang masih berduka karena balik pondok baru kemaren, bocah itu malah tertawa-tawa bahagia, seolah pondok tak ubahnya taman bermain baginya, tapi aku malas menghampirinya.

Maka aku hanya memandangi bocah itu dari jauh, sambil terus mengulang-ulang bait Alfiyah ku yang sempat jeda, usianya paling 8 tahunan, kopyahnya lebih besar daripada kepalanya, sehingga selalu terlihat miring menutupi satu alisnya, selalu memakai sarung kucel yang kian melorot, berkoreng di betis kirinya, dia tak banyak berbeda dengan anak-anak santri baru lainnya, yang makin hari ke hari makin banyak saja jumlahnya. Hanya saja aku sering merasa ada yang berbeda dari bocah itu, dan itu kian aku rasakan setiap kali bersitatap dengannya, seperti ada cahaya yang berkeradapan dalam mata bocah itu, sering aku mencuri pandang dari balik Alfiyahku, agar aku bisa berlama-lama menatap sepasang mata itu.

Menjenguk mata itu, aku seperti menjenguk sebuah dunia yang berbeda, hingga aku merasa segala di sekeliling bocah itu perlahan-lahan berubah, tiang-tiang masjid menjelma menjadi barisan pepohonan rindang, tak ada keruwetan, karena amperan masjid telah menjadi sungai dengan gemericik air disela bebatuan hitam, tangga masjid menjelma perosotan licin yang menghubungkan gedung pondok yang telah berubah perbukitan hijau. Dari retakan perlahan tumbuh bunga mawar, akar dedaunan hijau merambat melilit papan pengumuman dan tiang lampu. Kerakap tumbuh di dinding asrama, aku terkejut ketika tiba-tiba aku melihat seekor bangau bertengker di atas kotak amal masjid yang kini tampak seperti terbuat dari gula-gula. Air yang jernih mengalir perlahan, seakan burung terdengar dari pohon jambu berbuah lebat yang bagai dicangkok di mimbar.

Aku terpesona menyaksikan itu semua, aku menurunkan kitab dari wajahku, menghirup lembab angin yang berembus lembut dari pegunungan. Tapi pada saat itulah aku terkejut oleh pekikan seseorang memanggilku” dai, giliranmu setor Alfiah”, panggil salung sedikit melotot, aku lirik anak-anak yang lain, sepertinya sudah mudarasah semua, hanya menunggu giliranku. Buru-buru aku beranjak menyetor hafalanku.

Aku selalu terkenang mata bocah itu, aku tidak pernah menyangka betapa di dunia ini ada mata yang mata begitu indah, sejak kecil aku suka pada mata. Itu sebabnya ketika kanak aku menyukai boneka, aku menyukai bermacam warna dan bentuk mata boneka-boneka koleksiku, aku suka menatapnya berlama-lama, dan itu membuat ibuku cemas, dan mengubah kebiasaanku, di suruh menggambar. Dan aku selalu menggambar mata, yang bagai liang hitam, sesekali aku menggambar bunga mawar tumbuh dari dalam mata itu; mata dengan sebilah pisau yang menancap, atau binatang-binatang yang berloncatan dari dalam mata yang berwarna hijau toska.

Aku senang ketika nenek memuji gambar-gambarku itu, nenek seperti bisa memahami apa yang aku rasakan. Aku ingat perkataan nenek saat aku berusia tujuh tahunan.” Mata itu seperti jendela hati, kamu bisa menjenguk perasaan seseorang lewat matanya….” Sejak itu aku suka memandang mata setiap orang yang di jumpaiku. Tapi ibu meng hardik.”Tidak sopan menatap mata orang seperti itu,” ibu menyuruhku agar selalu menundukkan pandang bila berbicara dengan seseorang.

Saat remaja aku sudah tak lagi menyukai boneka ataupun mengambar mata, tapi aku suka diam memperhatikan mata orang­-orang yang dijumpaiku, kadang-kadang tanpa sadar aku sering mendapati diriku tengah memandangi mata seseorang cukup lama, hingga orang itu merasa risih dan cepat-cepat menyingkir, setiap menatap mata seseorang, aku seperti melihat bermacam-macam keajaiban yang tak terduga, kadang aku melihat api berkobar dalam mata itu, kadang aku melihat ribuan kelelawar terbang berhambur, sering pula aku melihat lelehan tomat merembes dari sudut mata seseorang yang tengah dipandangiku, pecahan kaca yang menancap dikornea, kawat berduri terjulur panjang, padang gersang ilalang, pusaran kabut kelabu dengan kesedihan yang menggantung.

Dimana-mana aku hanya melihat mata yang keruh menanggung beban hidup, mata yang penuh kemarahan, mata yang menuntut kebebasan, karena itu, aku jadi begitu terkesan dengan sepasang mata bocah itu. Rasanya, itulah mata yang paling indah yang pernah aku tatap, begitu bening begitu jernih, mata yang mungil tapi bagai menyimpan dunia.

Sembari menikmati secangkir cappuccino di depan kopontren, di tengah hiruk pikuk santri mengantri, untuk memenuhi kebutuhan mereka, walau hanya untuk sebatang rokok, atau hanya duduk-duduk nimbrung beradu cerita liburan. Aku memperhatikan mata-mata santri yang lalu lalang, mungkin aku akan menemukan mata yang indah seperti mata bocah itu, tapi aku tak menemukan mata seperti itu, membuatku berpikir, bisa jadi mata bocah itu memang satu-satunya mata yang paling indah di dunia, dan aku berangan, andai memeliki mata seperti itu, agar aku bisa melihat dunia dengan berbeda, tentulah menyenangkan bila punya mata seperti itu batinku, apa yang kini aku pandang akan terlihat berbeda.
“Enak ya Dai jadi anak kecil, kayak gak punya beban,” Salung datar, sambil menatap bocah yang berloncat riang,
“Andai bisa kayak anak itu, pasti betah di pondok,”
“Kita cuma gak tau apa yang ada di mata bocah itu,” Seakan baru sadar dari perkataan salung.

Yah, orang-orang hanya tidak tau apa yang ada di mata bocah itu, kini aku mengerti, kenapa bocah itu terlihat selalu berlarian riang, karena ia tengah berlarian mengejar capung yang hanya bisa dilihat matanya, mata bocah itu pastilah melihat sekawanan burung terbang merendah bagai hendak hinggap di kepalanya, hingga ia mengibas-ngibaskan tangan menghalau, agar burung-burung itu kembali terbang, ketika berjongkok pastilah bocah itu sedang begitu senang memandangi seekor kumbang muncul dari celah gerbang, semua itu mungkin karna mata mungil indah bocah itu bisa melihat dunia yang berbeda, atau karena mata mungil itu memang menyimpan dunia.

Exit mobile version