cerita  

Bahayanya Seorang Pengumpat

Mencacimaki atau mengumpat orang lain adalah perbuatan tercela, dan dapat memicu timbulnya permusuhan dan
ketersinggungan, karena itu, haram hukumnya mengumpat orang lain, meskipun yang diumpat itu orang kafir, umpatan juga dapat mengganggu kekhusyu’an Seseorang dalam beribadah. Imam Al Junaid menceritakan pengalamannya mengenai perbuatan mengumpat yang pernah dilakukannya sebagai berikut.

Pada suatu hari, aku duduk di masjid Suniziyah untuk menanti shalat jenazah yang akan dilakukan. lalu, aku melihat seorang fakir melintas di depan masjid. Pada dirinya tampak ada ciri-ciri orang saleh, ia meminta –minta sedekah pada setiap orang yang menemuinya. Saat melihat hal itu, aku berkata dalam hati, “seandainya orang ini melakukan pekerjaan yang layak tentu bisa lebih baik daripada meminta-minta”, di samping itu juga dapat memelihara dirinya.

Setelah menshalati jenazah, aku buru-buru pulang, sebab aku memiliki banyak wirid yang harus dibaca nanti malam. Setelah melakukan shalat malam, biasanya aku lansung membaca wirid, akan tetapi kali ini terasa berat bagiku, aku berjaga malam dengan duduk sampai aku tertidur, dalam tidurku aku bermimpi bertemu dengan orang fakir tadi pagi, seolah-olah ia telah menjadi kambing yang dipanggang kemudian dihidangkan kepadaku diatas meja, lalu ada yang berkata kepadaku, “sekarang makanlah dagingnya, sebab kamu tadi pagi telah mengumpatnya”. Saat mendapat perkataan seperti itu aku lansung menyangkanya, aku tidak mengunjingnya, juga tidak mgumpatnya, aku hanya berkata di dalam hati. kemudian ada yang berkata kepadaku, “orang seperti kamu ini tidak diperkenankan menggunjing dan mengumpat meskipun di dalam hati, oleh karena itu, pergilah dan minta maaflah kepadanya”.

Pagi harinya aku lansung mencari pengemis itu sampai akhirnya ia aku temukan di suatu tempat. Ia sedang mengambili dedaunan dan sayuran yang jatuh tidak diambil oleh orang-orang yang baru mencacinya. Sisa-sisa dedaunan dan sayuran itu diambilnya dengan menghadang pada jalan aliran air. Setelah dekat, aku menguncapkan salam kepadanya, sesudah menjawab salamku, ia berkata, “kamu ulangi lagi wahai abu qasim?” aku berkata dalam hati, rupanya ia sudah tau mimpiku tadi malam. Bila tidak orang alim, mustahil ia mengetahui barang gaib. Termasuk apa yang ada di dalam diriku. Aku lantas menjawab, “tidak, aku tidak akan mengulanginya lagi”. Selanjutnya ia berkata, “sekarang pergilah bertaubat kepada Allah swt, semoga Allah mengampuni kesalahanmu”.

Dari kejadian tersebut, imam Al- Junaid akhirnya lebih berhati-hati dalam menjaga hati dan lisanya. ia tidak berani mengumpat orang lagi, meskipun itu orang dzalim atau kafir, ia benar- benar menyesali perbuatanya yang tercela itu. Mengutip cerita yang ada di atas itu, mengingat terhadap dauh Syaikhina al-Mukarrom KH. Ach Romli Fakhri yang mana beliau pernah berkata: “seseorang ketika sadar diri maka tidak akan iri”. Dan dari situlah sebelum kita lihat orang lain lihatlah diri kita sendiri, maka ketika seorang ketika sudah bisa menjaga diri nya sendiri ( introfeksi diri ) insya Allah kita tidak akan iri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *