Ketika kita hidup dalam peradaban yang tak beradab, maka yang terjadi kita merasa asing dengan adab. Selayaknya ada orang asing yang memasuki rumah, kekacauan apa pun yang terjadi dalam rumah itu, si asinglah yang disalahkan.
Saat kita asing dengan adab, maka kekacauan apa pun yang terjadi, adablah yang dianggap menjadi biang kerok. Terutama adab kepada guru. Seakan karena adablah, kekacauan itu muncul.
Bila terjadi sebuah peristiwa yang tentu jauh sekali dari makna adab, malah seakan yang salah adalah adab itu sendiri. Adab penghormatan murid ke guru, disalahkan. Adab pengagungan kepada guru, ikut disalahkan. Padahal yang terjadi merupakan peristiwa yang sangat jauh dari kata adab.
Mari kita belajar tentang apa itu adab kepada guru. Justru adab paling pertama seorang murid kepada guru, adalah menyeleksi guru. Adab pertama adalah memilih guru yang benar-benar menjaga muruah, dan secara lahiriah merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru. Kita harus bermujahadah menunaikan adab tersebut, serta beristikharah kepada Allah ﷻ.
Adab itu jauh sebelum ikatan murid dengan guru terjalin. Dalam 12 adab murid kepada guru dalam Adâbul-‘Âlim wal-Muta’allim adab yang pertama adalah:
الْأَوَّلُ: يَنْبَغِيْ لِلطَّالِبِ أَنْ يُقَدِّمَ النَّظَرَ وَيَسْتَخِيْرَ اللهَ تَعَالَى فِيْمَنْ يَأْخُذُ الْعِلْمَ عَنْهُ وَيَكْتَسِبُ حُسْنَ الْأَخْلَاقِ وَالْآدَابِ مِنْهُ، وَلْيَكُنْ إِنْ أَمْكَنَ مِمَّنْ ثَبَتَتْ أَهْلِيَّتُهُ وَتَحَقَّقَتْ شَفَقَتُهُ وَظَهَرَتْ مُرُوْءَتُهُ وَاشْتَهَرَتْ صِيَانَتُهُ، وَكَانَ أَحْسَنَ تَعْلِيْمًا وَأَجْوَدَ تَفْهِيْمًا،.
“Adab pertama: seorang penuntut ilmu harus mendahulukan pengamatan dan melakukan istikharah kepada Allah ﷻ mengenai orang yang akan ia ambil ilmunya, serta dari siapa ia akan memperoleh akhlak yang baik dan adab darinya. Hendaknya pula guru tersebut, jika memungkinkan, merupakan orang yang telah terbukti keahliannya, memiliki belas-kasihan, dan memiliki muruah, dan masyhur menjaga muruah tersebut. Serta ia adalah orang yang paling baik cara mengajarnya dan paling bagus dalam memahamkan murid.”
Adab itu jauh sebelum kita membahas: apakah beradab jika murid melanggar perintah Allah ﷻ demi taat kepada guru? Adab itu pun jauh sebelum kita membahas perkataan lâ thâ’ata li makhlûqin fî ma’shiyatil-khâliq. Karena pertanyaan dan pembahasan itu tidak kita perlukan lagi jika kita telah berhasil menunaikan adab yang pertama: menyeleksi guru.
Adab inilah yang kadang terlewatkan. Terlewat lantaran silau akan kemegahan dan tertipu keviralan. Sehingga, yang terpenting terlupa. Melupakan penjagaan muruah. Dari sanalah makna adab kabur dari teksnya.
Pemilihan guru yang tepat merupakan pesan turun-temurun sejak zaman dahulu.
فَعَنْ بَعْضِ السَّلَفِ: هَذَا الْعِلْمُ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Diriwayatkan dari sebagian ulama Salaf, ‘Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.’”
Jika adab yang pertama saja ia gagal menunaikan, maka sulit sekali menunaikan adab-adab pada poin berikutnya. Setelah adab-adab itu kita tegakkan, maka usaha kita menunaikan adab sudah kita tunaikan. Tinggal kita berdoa kepada Allah ﷻ, semoga kita, anak-anak kita, dan guru-guru kita Allah ﷻ jaga dalam jalan ketaatan kepada-Nya. Amin!
