Apakah kalian percaya nun jauh di sana, ada negeri bernama, Negeri Cahaya. Apa yang terpelesat dalam pikiranmu tentulah tidak sama, jika engkau berpikir itu adalah negeri yang terus menerus terang menderang, atau negeri yang dipenuhi cahaya bak negeri dongeng, tentu kau salah, negeri itu terletak di pulau garam, bagian timur nusantara, jika engkau kesana engkau akan menemukan negeri itu di antara pebukitan, negeri yang teropis, pohon kelapa dan jati tumbuh menjolok dari kaki bukit hingga ujung, bukit jadi tampak di selimuti panaroma hijau, orang-orang menyebutnya, Negeri Cahaya Ilmu, bukan semata-mata penyebutan, orang-orang dari negeri sebelah bahkan nun jauh dari negeri seberang berduyun-duyun mendatangi negeri itu, setiap tahunnya orang-orang datang ke negeri itu untuk menetap beberapa saat, bukan untuk menetap semata, satu juta kaki bahkan ribuan untuk satu tujuan, ridho tuhan dan akhirat kelak, kehidupan di sana monoton tapi tak membikin bosan, mereka disana tak sibuk dengan hal duniawi tapi ukhrowi, kala negeri itu di pimpin oleh orang wibawa hampir senusantara sekaligus pelopor berdirinya Negeri Cahaya Ilmu itu,
Ki Ageng begitu orang menyebut, tak ada yang tau persis namanya, misterius seperti kedatangannya, orang itu muncul dari timur, arah dimana juga matahari terbit, bagai tanda kelak negeri yang ia bangun, ia menetap di pebukitan yang Nampak hutan belantara, namun tak berselang lama pebukitan itu ramai di kunjungi orang-orang yang ingin berguru kepadanya, pohon-pohon di tebang di ganti pemukiman. Konon kehebatannya hampir terdengar keseluruh seantero, bajing-bajing pontang-panting melihatnya, bandit-bandit habis disikatnya, membuat mereka takut sekaligus takjub, membuat mereka penasaran lalu memilih untuk berguru, itu juga model dakwahnya, dimana orang-orang tak akan mendengarkan sebelum di taklukan, itulah yang membuat orang-orang datang kepadanya meski harus menyebrangi anak samudra, tidak hanya kekuatan fisik namun juga sakti, konon katanya kata ketua kampung yang juga santrinya, ki Ageng mendapat ilmu bela diri lewat mimpi, tak ayal jika orang dulu tak mampu melawannya — siapa yang bisa melawan setetes kekuatan maha Esa.
Di bukit engkau akan menemukan orang-orang berpakaian serba putih, mulai dari yang paling kecil hingga berjenggot, ada yang hilir ada duduk melingkar berdiskusi. Sebelum fajar membentang mereka bangun, pemukiman itu jadi tampak berdenyut tanpa henti, kau akan menemukan sebuah bangunan dengan genting yang mengerucut sampai ujung bagai trisula menancap, orang dulu menyebutnya musholla, engkau akan menemukan bangunan itu bagai tak berpenghuni, tapi jika masuk kedalamnya, kau akan menemukan ribuan jiwa didalamnya, duduk bersimpuh memangku lembar-lenbar kitap kuning lusuh dengan alat tulis, seakan menunggu seteguk rahmat untuk di catat, disana kau akan menemukan ki Ageng duduk didepan, menghadap ribuan jiwa itu, dari mulutnya bagai terlontar mutiara-mutiara yang akan dipungut ribuan jiwa itu. Bahasa-bahasa mereka halus bagai belundru, yang kecil menghormati yang tua mengasihani. Belantara itu benar-benar menjelma tempat suci. 1875 M. berapa tahun setelah berdirinya, juga ki Ageng masih memimpin.
Sekarang, 2026 M. jauh setelah berdirinya, jaman telah mengobrak abrik peradaban, tak lewat satu jengkalpun termasuk negeri itu, telah berabad-abad negeri itu berdiri, dan perjuangannya di teruskan canggahnya, pemukiman yang dulu berdinding bambu menjelma gedung bertingkat, mushola dibangun masjid, seiring waktu pemukiman itu menjelma tarim. Namun – ada yang perlahan berubah, bagai bayang remang berkeradapan membungkus petang, bukan tentang dinding bertingkat atau luas bangunan, semua jadi tampak gamang.
Seorang alumni menginap di pemukiman itu, semata ingin sowan kepada cucu gurunya itu, duduk dipelataran masjid, menyapu pemandangan gedung-gedung kokoh, yang dulu dimasanya hanya bambu rancak yang dianyam, pikirannya benar-benar berkelana, ingat bagaimana ia dulu berlarian bersama teman-temannya bolak-balik yang sekarang gedung berlantai dua yang mereka sebut madrasah, ingat juga bagaimana dulu ia selalu berjamaah dibelakang gurunya. Ditengah perkelanaannya, ia terkejut, seorang anak belari deras tepat dihadapannya berjarak satu jengkal, belum redam terkejutnya, tak jauh darinya, “WOI SETALKAH JEH!!,” teriakan itu begitu menghantam jantungnya, orang itu berlarian seperti tengah mengejar. Orang-orang itu bagai tak melihat padanya, ia tertegun memandang lagi orang-orang itu, kata-kata absurd saling lontar meledak-ledak, gemetar dibuatnya, ia juga ingat tadi saat berjamaah paling belakang, bagaimana gemah riuh dan bagaimana kaki kecil melangkahi bahunya.
Di depan gedung kantor, seorang alumni dengan niskala di hatinya menjelang kepulangan menyempatkan diri berbincang, dipikaran sang alumni banyak hal menganjal tentang ma`hadnya, dimana pada masanya tempat yang begitu sarat akan keilmuan apalagi ilmu hal, bagai begitu terkikis, “Biasa mang sekarang santrinya sakti-sakti, kalo dulu didepan ustadznya nunduk, sekarang terbang mang heheh..,” tutur Santri sepuh dengan agak guyon memberi pengertian di tengah-tengah. Kian berapa lama alumni itu tak datang berkunjung, dan banyak hal perubahan yang alumni itu tak ketahui, alumni juga mendengar berapa waktu lama ini, beberapa orang terusir dari ma`had, berita yang membuat mulut alumni manga-nganga, yang dulu pada masanya orang terusir hampir naif, sekarang hal itu bagai hal biasa, banyak lagi berita membuatnya prihatin atas perubahan drastis itu. Semua yang nampak didepannya; gedung-gedung bertingkat, gerombolan anak-anak, bagai bermunculan bayang-bayang yang kian membentang, membuat negeri yang mereka sebut-sebut kian meredup, dan menuai pandangan tak enak pada orang-orang sekitar,
Entahlah – kesadaran atau peradaban yang keliru, semua jadi tampak kelabu, generasi juga moralisasinya kian meredup.
Ilham Maulana / Pemred Santriana



