Tagtim.ID – kali ini saya akan menjelaskan pengertian yang sebenarnya dari Ahlusunnah Waljamaah.
Daftar Isi
Definisi Aswaja
Di dalam kitab ad-Difa’ ‘an Ahlissunnah-Waljamaah terdapat penjelasan terkait istilah Ahlusunnah Waljamaah (Aswaja). Aswaja adalah sebuah istilah kepada kelompok yang berada pada jalan orang saleh terdahulu dengan berpegangan kepada al-Quran, hadis, atsar dari Rasulullah dan dari sahabatnya. Istilah ini untuk membedakan antara Aswaja dengan kelompok-kelompok pembikin bidah. Lengkapnya sebagaimana berikut:
اهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ مُصْطَلَحٌ ظَهَرَ لِلدَّلَالَةِ عَلَى مَنْ كَانَ عَلَى مَنْهَجِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ التَّمَسُّكِ بِالْقُرْأَنِ وَ السُّنَنِ وَالْأَثَارِ الْمَرْوِيَّةِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَعَنْ أَصْحَابِهِ رِضْوَانُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِمْ لِيَتَمَيَّزَ عَنْ مَذَاهِبِ الْمُبْتَدِعَةِ
“Ahlusunnah waljamaah adalah sebuah istilah yang menunjukkan kepada seseorang yang berada pada jalan salaf, dari berpegang kepada al-Quran, sunah, atsar yang datang dari Rasulullah -selawat dan salam senantiasa berada pada sisi beliau- dan para sahabatnya -semoga Allah meridai mereka semua- untuk membedakan (antara kelompok tersebut) dengan kelompok bidah.”
Hal ini selaras dengan istilah sunnah sendiri sebagaimana termaktub dalam Risalah Ahlusunnah Waljamaah yang mencantumkan setidaknya 3 definisi:
- Secara bahasa: sunah memiliki arti: jalan atau cara meski pun tidak diridai
- Secara Syariat: sunah memiliki arti: istilah jalan atau cara yang diridai dalam menempuh agama, yakni jalan yang ditempuh oleh Rasulullah atau orang yang memiliki otoritas seperti para sahabat.
- Secara ‘uruf (kebiasaan): sunah memiliki arti segala aktivitas yang dikerjakan oleh figur yang patut diteladani, baik seorang nabi mau pun seorang wali.
Definisi sunah dalam istilah syariat bersumber dari hadis yang berbunyi:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّينَ, عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian” (HR. at-Tirmidzi)
السُّنَّةُ بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِيدِ كَمَا قَالَ أَبُو الْبَقَاءِ فِي كُلِّيَّاتِهِ: لُغَةً الطَّرِيقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَةٍ. وَشَرْعًا اسْمٌ لِلطَّرِيقَةِ الْمَرْضِيَّة الْمَسْلُوكَةِ فِي الدِّينِ سَلَكَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ هُوَ عِلْمٌ فِي الدِّينِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: }عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي وَعُرْفًا مَا وَاظَبَ عَلَيْهِ مُقْتَدِي نَبِيًّا كَانَ أَوْ وَلِيًّا.
“Kata as-sunnah dengan dhammah dan tasydid sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Abul-Baqa’ dalam kitab al-Kulliyat memiliki arti: secara bahasa jalan meski pun tidak diridhai.
Secara syariat Islam as-sunnah memiliki arti jalan yang diridhai yang ditempuh dalam beragama, yang telah dijalani oleh Rasulullah dan sosok yang mumpuni dalam agama seperti para sahabat. Hal ini lantaran ada sabda Rasulullah: berpegang teguhlah kalian kepada sunahku dan sunah khulafaur-rasyidin setelahku.
Sedangkan as-sunnah secara uruf memiliki pengertian sesuatu yang dilakukan secara rutin oleh orang yang patut diteladani. Baik seorang nabi mau pun seorang wali.”
Kemunculan Aswaja – Tafsir Ibnu Katsir
Siapa Ahlussunnah? – 10 Ciri Ahlussunnah Waljamaah
Untuk mengenali Aswaja, setidaknya kita harus mengetahui 10 Ciri Ahlusunaah Waljamaah. Berikut kriterianya:
1. Berpedoman kepada al-Quran dan Sunah
Satu hal yang tidak boleh ditawar dalam penentian kriteria Aswaja ialah berpedoman kepada al-Quran dan sunah. Dari namanya saja, Aswaja adalah ahli sunnah. Bagaimana bisa tergolong Ahlusunnah Waljamaah, jika orang tersebut ingkar terhadap sunah.
2. Menggunakan Akal
Juga tergolong ciri khas Aswaja ialah tidak menafikan peran akal dalam memahami nash agama. Bagi Aswaja memahami teks agama, serta mengabaikan pemahaman akal, dapat menjerumuskan kepada kesesatan, bahkan kekafiran. Dalam Syarh Ummul-Barahin terdapat sebuah keterangan sebagaimana berikut:
والتمسك في أصول العقائد بمجرد ظواهر الكتاب والسنة من غير بصيرة في العقل هو أصل ضلالة الحشوية فقالوا بالتشبيه والتجسيم والجهة عملا بظاهر قوله تعالى الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ، أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ، لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ونحو ذلك
3. Bermazhab
Ciri khas Aswaja juga ialah bermazhab. Dalam bermazhab/taklid memiliki definisi: mengikuti pandangan seseorang tanpa mengetahui hujahnya. Nama lain dari taklid ialah ittiba’.
Bermazhab berhukum wajib bagi orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad. Hal ini berdasarkan ayat:
فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. an-Nahl: 43)
Dalam kitab yang sama diterangkan bahwa ulama sepakat bahwa ayat tersebut memerintahkan orang yang tidak mengetahui hukum untuk mengikuti ulama yang mengetahui hukum. Selaras dengan ayat tersebut, firman Allah yang berbunyi:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”
(QS. at-Taubah: 122)
Mengenai ayat tersebut dalam Tafsir al-Jami’ li-Ahkamil-Quran (IIX/293-294) menjelaskan bahwa ayat tersebut melarang orang-orang tertentu pergi ke medan perang. Alasannya, agar umat Islam bisa menemukan orang yang menjadi rujukan setiap fatwa halal dan haram.
Ada perkataan Imam asy-Syathibi terkait hal itu. Dalam al-Muwafaqat lisy-Syathibi (IV/290-292):
فتاوى المجتهدين بالنسبة الى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين
“Bagi orang awam, fatwa para mujtahid layaknya dalil syariat bagi para mujtahid.”
Sejarah pun telah membuktikan bahwa para sahabat Rasulullah memiliki pengetahuan yang berbeda-beda, serta tidak semua dari mereka ahlul-futya (ahli fatwa). Sebagian dari para sahabat ada yang menjadi mujtahid dan ahli fatwa. Para mujtahid ini sedikit dibandingkan dengan selainnya. Kebanyakan dari para sahabat malah menjadi mustafti (orang yang meminta fatwa), serta yang berfatwa tidak mesti menyebutkan dalil dari hukum yang disampaikan.
Dalam sebuah hadis ada sebuah kisah bahwa Rasulullah mengutus “mufti” kepada wilayah-wilayah Islam yang masih minim pengetahuan. Hal itu untuk memutuskan hukum pada wilayah tersebut, baik menggunakan kitab Allah, sunah Rasulullah, hingga ijtihadnya sendiri. Lengkapnya sebagaimana berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
“Ketika Rasulullah hendak mengutus Mu’adz ke daerah Yaman, Rasulullah bertanya, ‘Bagaimana cara kamu memutuskan sesuatu ketika kamu dihadapkan dengan sebuah penilaian?’ Beliau menjawab, ‘Saya memutuskan sesuai dengan kitab Allah. Jika tidak kutemukan, saya memutuskan berdasarkan sunah rasul-Nya. Bila tidak menemukan di kitab Allah dan sunah rasul-Nya, saya berijtihad dengan pemikiranku.’ Kemudian Rasulullah menepuk dadanya seraya mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan antara utusan Rasulullah dengan apa yang diridai oleh Rasulullah’.”
(HR. Abu Daud)